Fahri: Dimaki itu Biasa, Penghinaan itu Hiburan bagi Pejabat Publik



Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menolak usulan pemerintah yang ingin menghidupkan kembali pasal larangan penghinaan kepada Presiden melalui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Menurut Fahri, kritik merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari oleh pejabat publik. Politisi PKS itu mengungkapkan, ia sering menerima kritik dan hal itu dianggapnya sebagai pemacu dalam memperbaiki kinerja. Fahri mengaku tidak pernah memiliki keinginan menempuh jalur hukum  untuk merespons berbagai kritik.

"Tidak perlu tersinggung, tugas pejabat itu di antaranya dimaki-maki. Siapa lagi yang dimaki kalau bukan pejabat publik. Saya anggap penghinaan itu hiburan sebagai pejabat publik," kata Fahri, di Istana Bogor, Rabu (5/8/2015).

Ia menilai, aturan mengenai penghinaan tidak tepat jika dibuat untuk melindungi seorang Presiden yang dianggapnya bukan lambang negara. Menurut dia, yang perlu dilindungi adalah lambang negara seperti bendera, lagu kebangsaan, dan lembaga kenegaraan lainnya.

"Kalau (Presidennya) kan makhluk hidup, orangnya datang dan pergi, jadi jangan disebut lambang negara. Tapi lembaga kepresidenan itu adalah institusi yang harus kita hormati," ujarnya.

Pasal mengenai penghinaan presiden ini terdapat dalam RUU KUHP,, yaitu dalam Pasal 263 dan Pasal 264.  Dalam draf RUU KUHP yang diterima Kompas.com, Pasal 263 ayat (1) itu berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."

Sementara itu, dalam Pasal 263 ayat (2),"Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri."

Aturan lebih detail tercantum dalam Pasal 264. Pasal itu berbunyi, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."

Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2015/08/05/18570781/Fahri.Hamzah.Penghinaan.Jadi.Hiburan.bagi.Pejabat.Publik

***


Dulu, di di hadapan para relawannya, Presiden Jokowi menyatakan dirinya tak takut dimaki.

"Saya siap tidak populer, saya siap dimaki-maki jangan dipikir Jokowi itu penakut,"kata Jokowi di hadapan para relawannya saat menghadiri Jambore Komunitas Juang Relawan Jokowi di Bumi Perkemahan Cibubur Jakarta Timur, Sabtu, (16/5).

Kini, saat hampir semua lini kehidupan kacau, ekonomi morat marit, rupiah ambruk, dan semakin banyak publik yang kecewa dan ramai-ramai mengkritik terutama lewat media sosial, pemerintahan Jokowi malah ingin memberlakukan kembali pasal penghinaan presiden.

Kalau ingin dihormati rakyat, akan lebih baik kalau Presiden yang sudah digaji dari uang rakyat itu fokus dengan kerja... kerja... kerja...

Jadikan hinaan, makian, celaan sebagai pelecut untuk meningkatkan kinerja dan merealisasikan janji-janji kampanye. (Baca: "Menolak Lupa 100 Janji Jokowi-JK" by @fadlizon)

Kalau hasilnya nanti ekonomi membaik, rakyat makin sejahtera, maka tak usah disuruh rakyat akan menaruh hormat.