Eks Staf SBY: Saya setuju pasal Penghina Presiden, asal ada juga pasal Presiden Bohong
Di tengah keterpurukan ekonomi yang salah satunya ditandai terus ambruknya nilai tukar rupiah, pemerintahan Presiden Jokowi malah mau menghidupkan lagi pasal penghinaan terhadap presiden yang sebelumnya sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi.
Tentu publik langsung bereaksi keras. Mereka menyatakan dikembalikannya pasal penghinaan presiden merupakan tanda kembalinya era Orde Baru yang sangat represif dan otoriter. Padahal pasal ini sudah dihapus oleh MK tahun 2006 saat era Presiden SBY.
Andi Arief, mantan staf khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Bidang Bantuan Sosial dan Bencana menanggapi upaya pemerintahan era Jokowi untuk memberlakukan kembali pasal Penghinaan Presiden yang sebelumnya sudah dihapus Mahkamah Konstitusi.
"Saya setuju ada Pasal yang menjerat penghina Presiden. Asal ada juga Pasal yang mengatur jika ada Presiden bohong," ujarnya melalui akun twitter @AndiArief_AA, Selasa (4/8/2015).
Presiden Jokowi menampik pasal penghinaan presiden yang kini dimasukkan pemerintah ke dalam draf revisi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bertujuan untuk membungkam kritik terhadapnya.
“Gini ya, jadi wali kota, gubernur, atau presiden itu yang namanya diejek, dicemooh, dicaci, dihina, sudah makanan sehari-hari. Biasa. Kalau saya mau, ribuan yang kayak gitu bisa dipidanakan. Itu kalau saya mau,” kata Jokowi di Jakarta, Selasa (4/8), dilasnir CNN Indonesia.
Jokowi berpendapat pasal penghinaan presiden justru bertujuan untuk memproteksi orang-orang yang kritis.
“Ini untuk masyarakat yang kritis, agar masyarakat yang ingin melakukan pengawasan atau koreksi tidak dibawa ke pasal-pasal karet. Jadi jangan dibalik-balik. (Pasal ini) justru memproteksi,” kata Jokowi.
Memang pemerintah ini jago ngeles memang. Pasal penghinaan ini kan pasal karet. Bisa dipakai penguasa dengan tafsir sesukanya. Demikian dikemukakan juru bicara Partai Demokrat Ulil Abshar Abdala.
"Saya tetap tak sepakat pasal penghinaan presiden dihidupkan lagi. Diakali bagaimanapun, ini pasal sejak dari sononya akan jadi pasal karet. Jadi, apa maksudnya pemerintah mau menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden ini? Harus ditolak!" komen Ulil melalui akun twitternya.
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengungkap sejarah kelam kelahiran pasal penghinaan presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Menurutnya, pasal tersebut semula bertujuan untuk melindungi Ratu Belanda dari hinaan pribumi saat masa penjajahan Belanda di tanah air puluhan tahun lalu.
"Tapi setelah kita merdeka, dianggap (pasal penghinaan) bisa berlaku untuk presiden. Saya sendiri tidak sependapat dengan hal itu," kata Yusril di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (4/8).