Asal Usul Gelar & Haji yang Hanya di Indonesia


Tahukah kamu? bahwa gelar tambahan 'Haji' itu hanya ada di Indonesia. Di Arab Saudi maupun negara belahan dunia manapun ketika seseorang pulang menunaikan ibadah haji tidak ada yang menambahkan gelar tersebut di depan nama mereka. Lalu bagaimana sejarahnya gelar 'Haji' itu bisa muncul di Indonesia?

Gelar “haji” tergolong cukup unik. Hanya di Indonesia saja kita menemukan fakta pemberian gelar semacam itu. Mengenai hal ini, arkeolog Islam Nusantara, Agus Sunyoto, menyatakan hal tersebut mulai muncul sejak tahun 1916.


Sebagaimana disebutkan, secara kebahasaan, haji berarti menziarahi, mengunjungi. Jadi tepatnya istilah ini digunakan untuk orang yang mau beribadah haji, bukan untuk mereka yang telah selesai melaksanakannya. Ketika seseorang pulang dari ibadah haji, sebenarnya sematan haji bagi dirinya sudah tuntas, karena dia tidak lagi berada dalam proses berziarah.

Sebaliknya di Indonesia, gelar tersebut masih tetap melekat. Orang-orang yang telah selesai melaksanakan ibadah haji, mendapat gelar tambahan di depan namanya dengan sebutan haji (untuk laki-laki) dan hajjah (untuk perempuan). Banyak orang memandang hal itu tidak baik, karena bisa menimbulkan sikap riya, pamer, sehingga bisa berbahaya bagi nilai ibadahnya di hadapan Allah.

Alasan lain pemakaian gelar haji bagi mereka yang kembali pulang adalah, karena susahnya menempuh perjalanan pulang pergi Indonesia-Makkah, sehingga agar kesan itu tidak hilang, maka dipakailah gelar haji sebagai tanda perjuangan ibadah. Penambahan gelar ini tentu sangat dapat dimaklumi.

"Kenapa dulu tidak ada Haji Diponegoro, Kiai Haji Mojo, padahal mereka sudah haji? Dulu kiai-kiai enggak ada gelar haji, wong itu ibadah kok. Sejarahnya (gelar “haji”, red) dimulai dari perlawanan umat Islam terhadap kolonial. Setiap ada pemberontakan selalu dipelopori guru thariqah, haji, ulama dari Pesantren, sudah, tiga itu yang jadi 'biang kerok' pemberontakan kompeni, sampai membuat kompeni kewalahan," beber Agus Sunyoto di Pesantren Ats-tsaqafah, Ciganjur, Jakarta.

Seperti yang telah dikutip brilio.net dari kemenag.go.id, pada zaman pendudukan Belanda, sudah banyak pahlawan Indonesia yang menunaikan ibadah haji seperti Pangeran Diponegoro, HOS Cokroaminoto, Ki Hajar Dewantara dan masih banyak lagi. Namun tidak pernah kita mendengar mereka menggunakan gelar haji.

Kepulangan mereka dari haji banyak membawa perubahan untuk Indonesia, tentunya perubahan ke arah yang lebih baik. Contohnya HOS Cokroaminoto, pulang berhaji, mendirikan Sarekat Islam. Begitu juga Ki Hajar Dewantara yang berjuang dalam bidang pendidikan.


Quote:
Hal-hal seperti ini merisaukan pihak Belanda. Maka salah satu upaya Belanda untuk mengawasi dan memantau aktivitas serta gerak-gerik ulama-ulama ini adalah dengan mengharuskan penambahan gelar haji di depan nama orang yang telah menunaikan ibadah haji dan kembali ke Tanah Air.

Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903. Pemerintahan kolonial pun mengkhususkan Pulau Onrust dan Pulau Khayangan di Kepulauan Seribu jadi gerbang utama jalur lalu lintas perhajian di Indonesia.

Quote:
Dahulu di zaman penjajahan Belanda, Belanda sangat membatasi gerak-gerik umat muslim dalam berdakwah, segala sesuatu yang berhubungan dengan penyebaran agama terlebih dahulu harus mendapat izin dari pihak pemerintah Belanda. Mereka sangat khawatir apabila nanti timbul rasa persaudaraan dan persatuan di kalangan rakyat pribumi, yang akan menimbulkan pemberontakan, karena itulah segala jenis acara peribadatan sangat dibatasi. Pembatasan ini juga diberlakukan terhadap ibadah haji. Bahkan untuk yang satu ini Belanda sangat berhati-hati, karena pada saat itu mayoritas orang yang pergi haji, ketika ia pulang ke tanah air maka dia akan melakukan perubahan.

Contohnya adalah Pangeran Diponegoro yang pergi haji dan ketika pulang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Imam Bonjol yang pergi haji dan ketika pulang melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan pasukan Paderinya. Muhammad Darwis yang pergi haji dan ketika pulang mendirikan Muhammadiyah, Hasyim Asyari yang pergi haji dan kemudian mendirikan Nadhlatul Ulama, Samanhudi yang pergi haji dan kemudian mendirikan Sarekat Dagang Islam, Cokroaminoto yang juga berhaji dan mendirikan Sarekat Islam. Hal-hal seperti inilah yang merisaukan pihak Belanda. Maka salah satu upaya belanda untuk mengawasi dan memantau aktivitas serta gerak-gerik ulama-ulama ini adalah dengan mengharuskan penambahan gelar haji di depan nama orang yang telah menunaikan ibadah haji dan kembali ke tanah air. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903.


Di Kepulauan Seribu, di Pulau Onrust dan Pulau Khayangan (sekarang Pulau Cipir), orang-orang yang pulang haji, banyak yang di karantina di sana. Ada yang memang untuk dirawat dan diobati karena sakit akibat jauhnya perjalanan naik kapal, dan ada juga yang disuntik mati kalau dipandang mencurigakan. Karena itu gelar haji menjadi semacam cap yang memudahkan pemerintah Hindia Belanda untuk mengawasi mereka yang dipulangkan ke kampung halaman.
Seperti disinggung sebelumnya, banyak tokoh yang membawa perubahan sepulang berhaji, maka pemakaian gelar H akan memudahkan pemerintah kolonial untuk mencari orang tersebut apabila terjadi pemberontakan.

Kebiasaan tersebut pada akhirnya menjadi turun temurun hingga saat ini.(sumber)