Rendahnya Penyerapan Anggaran: Salah Kebijakan Pemerintah & Pejabat yang Takut Salah



Untuk kesekian kalinya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali memberikan pengarahan kepada para pejabat daerah akan pentingnya menggenjot upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan mempercepat penyerapan anggaran. Kebijakan tersebut telah menjadi satu-satunya andalan yang kerap didengungkan pemerintah untuk memperbaiki ekonomi nasional yang belum juga bergerak mendekati target pertumbuhan 5,7 persen sampai akhir tahun.

Permintaan tersebut disampaikan Jokowi di hadapan para gubernur, Kepala Kepolisian Daerah dan Kepala Kejaksaan Tinggi seluruh Indonesia usai menggelar rapat koordinasi dengan topik percepatan program-program pembangunan bersama beberapa pimpinan lembaga terkait.

(http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150824125057-78-74060/jokowi-instruksikan-gubernur-percepat-penyerapan-anggaran/)

***

Joko Widodo kembali mengumpulkan para Kepala Daerah ke istana. Lengkap dengan para "pengawas daerah", yaitu Kejaksaan Dan Kepolisian daerah. Serapan anggaran hingga jelang akhir bulan ke-8 ini masih sangat rendah. Hanya di kisaran 20-an persen. Baik itu pos anggaran nasional (APBN) maupun pos daerah (APBD).

Lagi-lagi, Daerah kena sundul. Apakah penyerapan anggaran yang masih sangat rendah itu "kesalahan" daerah?

Mari kita lihat.

(1) Pasca salah-bijak presiden Joko Widodo, yaitu mencabut sebagian subsidi BBM (baca: menaikkan harga) jelang tahun anggaran baru 2015, terjadi price adjustment (penyesuaian harga) berbagai produk. Ini sangat berpengaruh pada hitung-hitungan proyek-proyek di mana-mana. Ya proyek berdana APBN, APBD, swasta, sampai "proyek-proyek" Rumah Tangga. Intinya, tidak ada yang berniat rugi, sehingga proyek menjadi "hidup segan, mati tak mau".

Di tingkat rumah tangga, proyek pengadaan mobil keluarga turun menjadi motor. Renovasi untuk perluasan rumah turun menjadi batal. Belanja rumah tangga yang seharusnya ikut menyerap produksi industri di pasaran jadi tertahan, lalu teralih untuk jadi alat bertahan hidup belaka (belanja bahan pokok).

Salah-bijak presiden Joko di sini adalah: saat harga minyak dunia turun, Pak Joko justru semangat menaikkan harga BBM. Di daerah, para Gubernur dan Bupati/Walikota berjuang mati-matian mengerem inflasi. Mereka bukannya tidak bekerja. (jadi ingat soal TPID waktu debat pilpres tempo hari).

(2) Pelengseran Ketua KPK dan salah satu Wakil Ketuanya dengan landas hukum "ecek-ecek" sangat membuka wawasan para pelaksana anggaran.

Mulai dari para Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di instansi pemerintahan, para pelaksana teknis, hingga jajaran Bendahara terbuka wawasannya bahwa: kerja baik dan benar sekalipun tetap dapat menyeret mereka ke pangkuan polisi dan jaksa.

Hikmahnya adalah: asal polisi mau, asal jaksa mau, mereka bisa menjadi tersangka pelanggar aturan.

Ini membuat para pejabat eksekutif baik pusat dan daerah memilih merawat nama baik ketimbang mengambil resiko yang terbilang berat saat menjalankan proyek.

Kepolisian dan Kejaksaan sepenuhnya berada di bawah kendali Presiden, sehingga melejitnya kasus dengan landas hukum ecek ecek di atas menjadi batu penanda bahwa presiden Joko tidak menjalankan peran kuat sebagai seorang presiden yang benar-benar Presiden. Hal mana telah menciutkan nyali para pelaksana eksekutif anggaran (untuk bekerja).

Jadi, lambatnya penyerapan anggaran yang sedang terjadi saat ini dan baru pertama kali terjadi di masa kepresidenan kali ini sepenuhnya terpantul kembali kepada presiden yang sedang menjabat saat ini. Sama sekali bukan kesalahan Daerah.

(Canny Watae)